Pages

Minggu, 02 Juni 2013

Islam dalam pandangan kolonialisme

Posisi Hindu dan Budha
Hindu Budha sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia karena memelihara kesinambungan keepercayaan lokal yang ada di Indonesia tetapi Hindu Budha tidak mempunyai misi untuk memperluas wilayah mereka tidak mempunyao misi-misi misionaris terhadap agamanya, maka atas dasar itulah Hindu Budha tidak mengalami perkembangan dan tidak dianggap oleh kolonial sebagai ancaman lalu masuklah Islam yang sangat menghargai pemuka agama untuk dijadikan tokoh masyarakat (Primus Interpares).[1]
Masa keruntuhan agama Hindu di Indonesia terjadi setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk wafat, kerajaan Majapahit  mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1)      Tidak adanya kaderisasi kepemimpinan sehingga tidak ada yang mempu menggantikan kedudukan gajah Mada,
2)      Adanya perpecahan keluarga yang kemudian disusul dengan terjadinya perang Paregreg.[2]
3)      Dan juga masuknya Agama Islam yang sebelumnya memang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat di daerah pesisir; Tuban, Gresik, Jepara, Demak dll.

Pada saat Majapahit lemah, bandar-bandar islam menyerang kerajaan Majapahit dengan dipimpin oleh sultan Demak yaitu Raden Fatah. Keruntuhan Majapahit mengawali keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu lainnya, seperti Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Kesultanan Banten, sedangkan Blambangan[3] diserbu oleh sultan Agung dari Mataram. Keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit yang disusul dengan transformasi Agama rakyat dari Hindu menjadi Islam secara umum memang berlangsung cukup mudah, karena pada zaman itu agama rakyat bergantung pada agama Raja “agama ageming aji” sehingga merubah Hindu mayoritas menjadi Hindu Minoritas. Akan tetapi ada juga orang-orang yang menolak untuk masuk Islam, sehingga mereka terpaksa menyingkir ke Pasuruan, Panarukan, dan Bali.[4]
Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yaitu agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut meskipun candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Teosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama Buddha, di mana seluruh anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari Agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang diberikan di Loji Teosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.[5]
Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha Mahayana, Kong Hu Chu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam jaman kemerdekaan Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang.
Tidak jarang, bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha, dengan nama Moestika Dharma (1932 - 1934).
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy Director General International Buddhist Mission, Java Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
§  Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
§  Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
§  Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
§  Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.












































Posisi Hindu dan Budha
         
















Respon Islam Terhadap Kolonial
          Pemikiran Snouck menjadi landasan dasar doktrin bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik. Berdasarkan konsep ini (yakni menjauhkan agama dari politik), Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan Islam Politiek yang merupakan garis kebijakan Inlandsch Politiek yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini[6]
Berdasarkan analisa Snouck Hurgronje Islam dibagi menjadi dua bagian yang pertama Islam religius dan yang kedua Islam politik terhadap masalah agama Belanda disarankan bersikap toleran yang merupakan syarat mutlak demi ketenangan dan stabilitas. Akan tetapi Islam politik harus selalu dicurigai dan diteliti dari mana datangnya. Menurutnya potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan perkembangan situasi terutama tahun kedua puluh kekuasaan Belanda di Indonesia.
Menurut snouck Hurgronje pada zaman Hindia Belanda timbulah kesadaran umat Islam akan kekurangan-kekurangan mereka untuk menempati kedudukan dalam lalu lintas dunia yang dapat mereka capai dengan kesanggupannya. Untuk mengisi kekurangan itu, mereka dapat menerima dengan rela hati bimbingan kita dalam arti pengajaran dan pendidikan, apabila diberikannya tanpa syarat, bahwa mereka harus mengingkari orang keramat yang kuna, untuk (sebagai gantinya) menyembah orang-orang keramat kita.[7]
          Setelah melihat dari keterangan panjang lebar tentang kondisi sosial politik kerajan-kerajan Islam pada masa penjajahan Belanda, ternyata kolonial Belanda telah menjadi penjajah yang kejam. Terbukti dengan tujuan mula Belanda pertama masuk ke Indonesia yaitu mencari rempah dan monopoli perdagangan. Namun setelah melihat orang-orang pribumi, Belanda mencoba menindas sampai akhirnya menjajah orang-orang pribumi dengan kejam dan merebut segala sesuatu yang diduga menghalangi kekuasaannya.[8]
          Menurut pemahaman Snouck Hurgronje mengenai Islam di Indonesia sama seperti di negara lain Islam sudah bercampur dengan adat istiadat setempat sehingga sudah menyimpang dari ajaran ortodoks Islam sehubunga dengan ini dia mendorong para pemuka Islam untuk memperdalam pemahaman dan penguasaan mereka tentang Islam.
          Berkait dengan itulah dia membedakan Islam dalam arti ‘ibadah’ dengan Islam sebagai ‘kekuatan sosial politik’, dan Ia membagi masalah Islam dalam tiga kata gori yaitu: (1) bidang agama murni atau ibadah dimana pemerintah harus memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (2) bidang sosial kemasyarakatan, dalam hal ini pemerintah harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat dan para pemimpin adat untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda (3) bidang politik, dalam bidang ini pemerintah harus mencegah dan menumpas secara keras setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan panislamisme yang muncul dari Turki.[9]
Respon Islam terhadap Hindia Belanda adalah melakukan perlawanan. Di Sumatra, kerajan-kerajaan Islam dengan cepat dikuasai Belanda kecuali Aceh. Setelah malaka jatuh ketangan Belanda 1641M terbentuk aliansi-aliansi baru antara lain Jambi, Palembang, dan Makasar. Namun aliansi ini bubar ketika VOC ikut campur dan meminta untuk tanda tangan kontrak dengan VOC. Di Aceh sebelum datangnya Belanda dan Inggris yang struktur sosial dan sistem kehidupannya sudah ratusan tahun berpegang erat pada adat dan kebudayaan dengan latar belakang Islam.[10]
Kedudukan Kristen Dalam Kebijakan Kolonial
          Perkembangan gereja dan agama Kristen pada masa Hindia Belanda berlangsung pesat, terutama di luar Jawa. Di satu sisi hal itu didorong oleh semangat kebebasan beragama yang dicanangkan Daendels, yang kemudian dilanjutkan oleh Raffles. Di sisi lain hal itu merupakan buah dari semangat penginjilan yang terjadi di Eropa sejak akhir abad ke-18 yang mendorong banyak orang mengabarkan Injil dan membentuk badan-badan pekabaran Injil, yang sebagian besar bersifat indipenden artinya, tidak punya ikatan resmi dengan gereja tertentu dan berkarya di Hindia Belanda sejak awal abad ke-19. Selain dari Belanda, ada juga yang datang dari Inggris, Jerman, Swiss, dan Amerika mereka berhasil membangkitkan minat dan semangat sejumlah orang untuk menjadi penginjil atau misionaris dan membentuk komunitas Kristen diberbagai pelosok dunia termasuk Hindia Belanda.
          Perkembangan Kristen smakin berkembang terlebih-lebih dengan diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830-1870, yang membuat banyak penduduk Jawa menjadi miskin dan sengsara, lalu membuat kerinduan masyarakat Jawa akan datangnya Ratu Adil dan kembalinya keadaan yang makmur sejahtera kian mengental.
          Dalam kegiataan pekabaran Injil yang menyebar diberbagai wilayah Hindia Belanda ada tiga pertimbangan umum yang mereka pedomani:
1)    kepadatan penduduk. dalam sejumlah kasus beberapa badan pekabaran Injil lebih suka memilih daerah yang penduduknya lebih padat. Tapi dalam perkembangannya daerah berpenduduk jarang pun kemudian dimasuki juga.
2)    Dekatnya suatu daerah yang akan dijadikan medan pekabaran Injil dengan lokasi aparat pemerintah H-B, baik di pusat (Batavia) maupun didaerah. Hal ini sedikit-banyak akan memberi jaminan dan harapan bagi terciptanya ketenangan dan ketertiban, sesuai dengan salah satu selogan pemerintah kolonial: rust an orde.
3)    Belum masuknya Islam, atau paling tidak belum terlalu berpengaruhnya Islam di daerah itu. Itulah sebabnya lembaga-lembaga pekabaran Injil umumnya bekerja di daerah-daerah yang penduduknya sebagian besar masih beragam suku, seperti Minahasah, Kalimantan, Timor dan sekitarnya, Tanah Batak, Halmahera, dan Iran (Papua).
Sehubungan dengan pertimbangan ketiga, alesannya bukan saja karena orang-orang yang beragam suku lebih mudah menerima Injil, tetapi juga karena badan-badan zending itu (Pekabar Injil) harus menanti seperangkat peraturan atau pembatasan, antara lain peraturan pemerintah H-B tahun 1818 dan 1854, yang-selain menjamin kebebasan beragama-juga minta izin kepada pemerintah sebelum mulai kerja di suatu daerah, demi menjaga rust en orde, Namun demikian, dengan kian berkembangnya hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Zending ke arah yang lebih positif, maka daerah yang sebagian besar pendudukna sudah beragama Islam pun, sampai batas tertentu diizinkan juga oleh pemerintah untuk dimasuki oleh badan-badan zending itu.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa tidak selamanya pemerintah Hindia Belanda mendukung pekabaran Injil. Penyebaran agama Kristen di Nusantara berjalan sering dengan perluasan penjajahan, karena zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang pada zaman itu. Umumnya orang Belanda masih optimis untuk bisa secepatnya mengikis pengaruh Islam di Indonesia melalui Kristenisasi. Pendapat ini antara lain berdasarkan rasa superioritas Kristen atas Islam, dan berlandaskan asumsi yang keliru bahwa singkretisnya Islam dikawasan ini akan mempermudah penaklukannya.[11]




[1] Primus Interpares adalah tokoh masyarakat yang tidak dipilih tetapi Dia memiliki wibawa dan karisma yang kuat dalam masyarakat.
[2]Paregreg artinya perang setahap demi setahap dalam tempo lambat (Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan pihak barat) diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

[3] Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di Ujung paling timur pulau Jawa Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa.

[6] http://makalahpendidikan.blogdetik.com/tentang-christiaan-snouck-hurgronje-dan-pemikirannya/ 7/10/2012 20:20

[7] Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, hal.46, Bhratara Karya Aksara, Jakarta: 1983
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hal.222, Pustaka Rizki Putra, Semarang :2011
[9] Ian S Aristonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hal.139, Gunung Mulia, Jakarta: 2006
[10] Fatah syukur. Sejarah Peradaban Islam. Hal.218
[11] Ian S Aristonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hal. 80

0 komentar:

Posting Komentar