Hindu Budha sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia karena
memelihara kesinambungan keepercayaan lokal yang ada di Indonesia tetapi Hindu
Budha tidak mempunyai misi untuk memperluas wilayah mereka tidak mempunyao
misi-misi misionaris terhadap agamanya, maka atas dasar itulah Hindu Budha
tidak mengalami perkembangan dan tidak dianggap oleh kolonial sebagai ancaman
lalu masuklah Islam yang sangat menghargai pemuka agama untuk dijadikan tokoh
masyarakat (Primus Interpares).[1]
Masa keruntuhan
agama Hindu di Indonesia terjadi setelah Gajah Mada dan
Hayam Wuruk wafat, kerajaan Majapahit mengalami
kemunduran yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1)
Tidak
adanya kaderisasi kepemimpinan sehingga tidak ada yang mempu menggantikan
kedudukan gajah Mada,
3)
Dan
juga masuknya Agama Islam yang sebelumnya memang telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat di daerah pesisir; Tuban, Gresik, Jepara, Demak dll.
Pada saat Majapahit lemah, bandar-bandar islam
menyerang kerajaan Majapahit dengan dipimpin oleh sultan Demak yaitu Raden
Fatah. Keruntuhan Majapahit mengawali keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu
lainnya, seperti Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Kesultanan Banten,
sedangkan Blambangan[3] diserbu
oleh sultan Agung dari Mataram. Keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit yang
disusul dengan transformasi Agama rakyat dari Hindu menjadi Islam secara umum
memang berlangsung cukup mudah, karena pada zaman itu agama rakyat bergantung
pada agama Raja “agama ageming aji” sehingga
merubah Hindu mayoritas menjadi Hindu Minoritas. Akan tetapi ada juga
orang-orang yang menolak untuk masuk Islam, sehingga mereka terpaksa menyingkir
ke Pasuruan, Panarukan, dan Bali.[4]
Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal
adanya tiga agama yaitu agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan
Agama Buddha tidak disebut-sebut meskipun candi Borobudur telah kembali
diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal
Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial
Belanda waktu itu. Dengan demikian Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi
Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama
Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda di
Batavia (sekarang Jakarta) didirikan Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang
Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua
agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Teosofi
mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama Buddha, di mana seluruh anggota
Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari Agama Buddha. Dari
ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang diberikan di Loji Teosofi di
Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, Agama Buddha
mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha
di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan
kembali Agama Buddha di Indonesia.[5]
Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk
melestarikan ajaran Agama Buddha Mahayana, Kong Hu Chu dan Tao yang kemudian
lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk
mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula
kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam jaman kemerdekaan Agama Buddha
mulai bangkit dan berkembang.
Tidak jarang, bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio)
dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada
umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara
seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin
dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan
Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang
pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia menerbitkan majalah
berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha, dengan nama
Moestika Dharma (1932 - 1934).
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran
banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng,
waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh
kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda
itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan
perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog
antara Pandita Josias v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan
Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan
kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya
digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk
mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu,
Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha
di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan
yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Pandita
Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Y.M. Bhikkhu Narada
Thera dari Ceylon (Sri Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay,
Ir. Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita
Josias van Dienst (Deputy Director General International Buddhist Mission, Java
Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan
sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
§ Memberikan khotbah-khotbah dan
pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat,
dan Jawa Tengah.
|
|
§ Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran
Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
|
|
§ Membantu dalam pendirian Java Buddhist
Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
|
|
§ Menjalin kerja-sama yang erat dengan
bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im
Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng
Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan
perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan
Jawa-Tengah.
|
Posisi
Hindu dan Budha
Respon
Islam Terhadap Kolonial
Pemikiran
Snouck menjadi landasan dasar doktrin bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai
Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik. Berdasarkan konsep ini
(yakni menjauhkan agama dari politik), Belanda dapat mengakhiri perlawanan
rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang
dimotori oleh umat Islam.
Christiaan
Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan Islam Politiek yang
merupakan garis kebijakan Inlandsch Politiek yang dijalankan pemerintah
kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang
diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan
para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus
berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini[6]
Berdasarkan analisa Snouck Hurgronje Islam dibagi menjadi dua
bagian yang pertama Islam religius dan yang kedua Islam politik terhadap
masalah agama Belanda disarankan bersikap toleran yang merupakan syarat mutlak
demi ketenangan dan stabilitas. Akan tetapi Islam politik harus selalu
dicurigai dan diteliti dari mana datangnya. Menurutnya potensi pribumi dan
teorinya tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan
perkembangan situasi terutama tahun kedua puluh kekuasaan Belanda di Indonesia.
Menurut snouck Hurgronje pada zaman Hindia Belanda timbulah
kesadaran umat Islam akan kekurangan-kekurangan mereka untuk menempati
kedudukan dalam lalu lintas dunia yang dapat mereka capai dengan
kesanggupannya. Untuk mengisi kekurangan itu, mereka dapat menerima dengan rela
hati bimbingan kita dalam arti pengajaran dan pendidikan, apabila diberikannya
tanpa syarat, bahwa mereka harus mengingkari orang keramat yang kuna, untuk (sebagai
gantinya) menyembah orang-orang keramat kita.[7]
Setelah melihat dari keterangan
panjang lebar tentang kondisi sosial politik kerajan-kerajan Islam pada masa
penjajahan Belanda, ternyata kolonial Belanda telah menjadi penjajah yang
kejam. Terbukti dengan tujuan mula Belanda pertama masuk ke Indonesia yaitu mencari
rempah dan monopoli perdagangan. Namun setelah melihat orang-orang pribumi, Belanda
mencoba menindas sampai akhirnya menjajah orang-orang pribumi dengan kejam dan
merebut segala sesuatu yang diduga menghalangi kekuasaannya.[8]
Menurut pemahaman Snouck Hurgronje
mengenai Islam di Indonesia sama seperti di negara lain Islam sudah bercampur
dengan adat istiadat setempat sehingga sudah menyimpang dari ajaran ortodoks
Islam sehubunga dengan ini dia mendorong para pemuka Islam untuk memperdalam
pemahaman dan penguasaan mereka tentang Islam.
Berkait dengan itulah dia membedakan
Islam dalam arti ‘ibadah’ dengan Islam sebagai ‘kekuatan sosial politik’, dan Ia
membagi masalah Islam dalam tiga kata gori yaitu: (1) bidang agama murni atau
ibadah dimana pemerintah harus memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda (2) bidang sosial kemasyarakatan, dalam hal ini pemerintah harus
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat dan para
pemimpin adat untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda (3) bidang
politik, dalam bidang ini pemerintah harus mencegah dan menumpas secara keras
setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan panislamisme yang
muncul dari Turki.[9]
Respon
Islam terhadap Hindia Belanda adalah melakukan perlawanan. Di Sumatra,
kerajan-kerajaan Islam dengan cepat dikuasai Belanda kecuali Aceh. Setelah
malaka jatuh ketangan Belanda 1641M terbentuk aliansi-aliansi baru antara lain
Jambi, Palembang, dan Makasar. Namun aliansi ini bubar ketika VOC ikut campur
dan meminta untuk tanda tangan kontrak dengan VOC. Di Aceh sebelum datangnya
Belanda dan Inggris yang struktur sosial dan sistem kehidupannya sudah ratusan
tahun berpegang erat pada adat dan kebudayaan dengan latar belakang Islam.[10]
Kedudukan
Kristen Dalam Kebijakan Kolonial
Perkembangan gereja dan agama Kristen
pada masa Hindia Belanda berlangsung pesat, terutama di luar Jawa. Di satu sisi
hal itu didorong oleh semangat kebebasan beragama yang dicanangkan Daendels,
yang kemudian dilanjutkan oleh Raffles. Di sisi lain hal itu merupakan buah
dari semangat penginjilan yang terjadi di Eropa sejak akhir abad ke-18 yang
mendorong banyak orang mengabarkan Injil dan membentuk badan-badan pekabaran
Injil, yang sebagian besar bersifat indipenden artinya, tidak punya ikatan
resmi dengan gereja tertentu dan berkarya di Hindia Belanda sejak awal abad
ke-19. Selain dari Belanda, ada juga yang datang dari Inggris, Jerman, Swiss,
dan Amerika mereka berhasil membangkitkan minat dan semangat sejumlah orang
untuk menjadi penginjil atau misionaris dan membentuk komunitas Kristen
diberbagai pelosok dunia termasuk Hindia Belanda.
Perkembangan Kristen smakin berkembang
terlebih-lebih dengan diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun
1830-1870, yang membuat banyak penduduk Jawa menjadi miskin dan sengsara, lalu
membuat kerinduan masyarakat Jawa akan datangnya Ratu Adil dan kembalinya
keadaan yang makmur sejahtera kian mengental.
Dalam kegiataan pekabaran Injil yang
menyebar diberbagai wilayah Hindia Belanda ada tiga pertimbangan umum yang
mereka pedomani:
1)
kepadatan penduduk. dalam sejumlah kasus beberapa badan pekabaran
Injil lebih suka memilih daerah yang penduduknya lebih padat. Tapi dalam
perkembangannya daerah berpenduduk jarang pun kemudian dimasuki juga.
2)
Dekatnya suatu daerah yang akan dijadikan medan pekabaran Injil
dengan lokasi aparat pemerintah H-B, baik di pusat (Batavia) maupun didaerah.
Hal ini sedikit-banyak akan memberi jaminan dan harapan bagi terciptanya
ketenangan dan ketertiban, sesuai dengan salah satu selogan pemerintah
kolonial: rust an orde.
3)
Belum masuknya Islam, atau paling tidak belum terlalu
berpengaruhnya Islam di daerah itu. Itulah sebabnya lembaga-lembaga pekabaran
Injil umumnya bekerja di daerah-daerah yang penduduknya sebagian besar masih
beragam suku, seperti Minahasah, Kalimantan, Timor dan sekitarnya, Tanah Batak,
Halmahera, dan Iran (Papua).
Sehubungan dengan pertimbangan ketiga, alesannya bukan saja karena
orang-orang yang beragam suku lebih mudah menerima Injil, tetapi juga karena
badan-badan zending itu (Pekabar Injil) harus menanti seperangkat peraturan
atau pembatasan, antara lain peraturan pemerintah H-B tahun 1818 dan 1854,
yang-selain menjamin kebebasan beragama-juga minta izin kepada pemerintah
sebelum mulai kerja di suatu daerah, demi menjaga rust en orde, Namun
demikian, dengan kian berkembangnya hubungan antara pemerintah Hindia Belanda
dan Zending ke arah yang lebih positif, maka daerah yang sebagian besar
pendudukna sudah beragama Islam pun, sampai batas tertentu diizinkan juga oleh
pemerintah untuk dimasuki oleh badan-badan zending itu.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa tidak selamanya pemerintah
Hindia Belanda mendukung pekabaran Injil. Penyebaran agama Kristen di Nusantara
berjalan sering dengan perluasan penjajahan, karena zending Kristen harus
dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan
kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang
pada zaman itu. Umumnya orang Belanda masih optimis untuk bisa secepatnya
mengikis pengaruh Islam di Indonesia melalui Kristenisasi. Pendapat ini antara
lain berdasarkan rasa superioritas Kristen atas Islam, dan berlandaskan asumsi
yang keliru bahwa singkretisnya Islam dikawasan ini akan mempermudah
penaklukannya.[11]
[1] Primus Interpares adalah tokoh masyarakat yang tidak dipilih tetapi
Dia memiliki wibawa dan karisma yang kuat dalam masyarakat.
[2]Paregreg artinya
perang setahap demi setahap dalam tempo lambat (Pihak yang menang pun silih
berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan pihak
barat) diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan
Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara
Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini
melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
[3] Kerajaan
Blambangan adalah kerajaan
yang berpusat di Ujung paling timur pulau Jawa Blambangan
dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa.
[4] http://gudangtugasku.blogspot.com/2012/02/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html 8/10/2012 09:15 WIB
(Diakses pada tanggal 8/10/2012 Pukul 21:15
WIB
[6] http://makalahpendidikan.blogdetik.com/tentang-christiaan-snouck-hurgronje-dan-pemikirannya/
7/10/2012 20:20
[7] Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, hal.46, Bhratara
Karya Aksara, Jakarta: 1983
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hal.222, Pustaka Rizki
Putra, Semarang :2011
[9] Ian S Aristonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, hal.139, Gunung Mulia, Jakarta: 2006
[10] Fatah syukur. Sejarah Peradaban Islam. Hal.218
[11] Ian S Aristonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,
hal. 80
0 komentar:
Posting Komentar